Mohon info Sejawat/Senior MHKI…
Saya pernah dengar…
Ada hak dokter untuk menolak pasien yang tidak kooperatif dengan dokter.
Mohon petunjuk. Terima kasih. ????�????????
Jawab ;
Terima Kasih atas pertanyaannya..

Secara umum sih…

dokter tidak boleh menolak pasien dalam keadaan gawat darurat. Pada keadaan tidak gawat darurat, dokter boleh menolak pasien, misalnya jika dokter merasa tidak kompeten dan ada dokter lain yang lebih kompeten.

Kondisi bagaimana Dokter Boleh Menolak Pasien

Dalam Permenkes dan Kodeki, dokter boleh tidak menangani pasien karena alasan berikut:

  • Dokter tidak kompeten dan ada dokter lain yang lebih kompeten untuk mengobati penyakit pasien (PMK No 1/2012 psl 7)
  • Fasilitas rumah sakit tidak memadai atau rumah sakit penuh. (PMK No 1/2012 psl 9)
  • Pasien meminta utk mengubah diagnosa (PMK No 36/2015)
  • Pasien Tidak Patuh./tidak kooperatif. 

    Mengenai Dokter menolak Pasien yang tidak kooperatif/tidak Patuh

    Pada prinsipnya hubungan dokter dan pasien  adalah terikat perjanjian kontrak terapeutik, yaitu perjanjian upaya pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) yang disebut dengan inspanning verbintennis.

    Perjanjian Terapeutik termasuk di dalam inspannings verbintenis sehingga pada pengobatan atau perawatan kesehatan, SEMBUH atau TIDAK SEMBUHnya Pasien bukanlah suatu PRESTASI (objek yang dijanjikan), tetapi dilihat dari PROSES atau UPAYA yang telah dilakukan oleh Dokter, apakah sudah sesuai dengan STANDAR PELAYANAN, STANDAR PROFESI serta STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL.
    Perjanjian terapeutik adalah kesepakatan antara dokter/dokter gigi dan pasien yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran Pasal 39 dan Permenkes RI No. 2052/2011 Pasal 21. Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa “Praktik Kedokteran diselenggarakan pada kesepakatan antara dokter/dokter gigi dan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan”.
    Kesepakatan ini sering kali dikenal dengan istilah perjanjian/kontrak/transaksi terapeutik. Bentuk kesepakatan ini adalah perjanjian untuk melakukan usaha menyembuhkan pasien, bukan menjanjikan hasil berupa kesembuhan.
    Yang perlu diketahui oleh seorang Pasien, bahwa setiap Penyakit yang diderita oleh seorang Pasien SANGAT BANYAK dipengaruhi oleh faktor-faktor sehingga TIDAK ADA HASIL YANG SAMA terhadap Dua Penyakit Yang Sama. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi HASIL PENGOBATAN atau TINDAKAN seorang Dokter antara lain; Pasien (usia, jenis kelamin, ras, sosial-ekonomi, budaya, agama), Penyakit (akut, kronis, reversible, irreversibel, herediter, degeneratif, jenis kuman, tersedianya obat-obatan), Sarana (alat kesehatan, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium, ruang operasi, alat bantu kehidupan), Dokter (skill, pengalaman, dayantahan/stamina, ketelitian)
    Pasien terkadang tidak mau mematuhi perintah dokter (misalnya tidak mau minum obat, tidak mau berhenti merokok, dsb). Hal ini dapat dianggap melanggar kewajiban pasien yang tertera pada UU No. 29 tahun 2004 Pasal 53, yaitu “Pasien wajib mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi & mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan”. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, perjanjian terapeutik dapat dianggap gagal.
    Sebuah perjanjian kesepakatan upaya membutuhkan kerjasama kedua belah pihak. Maka apabila pasien ‘menolak kerjasama’ atau tidak kooperatif maka dapat dianggap melanggar perjanjian kesepakatan upaya yang dapat menimbulkan hasil yang tidak maksimal.
    Apabila seorang Dokter sudah melakukan SEMUAnya dengan BENAR, maka bila hasilnya NEGATIF atau BURUK dan TIDAK SESUAI dengan yang diharapkan oleh Pasien, maka si Dokter tidak dapat dipersalahkan dan tidak bisa dikatakan telah melakukan suatu KELALAIAN atau KESALAHAN.
    Jadi bila terjadi hasil yang tidak sesuai dengan harapan pasien, maka pasien harus membuktikan bahwa dokter benar-benar tidak menjalankan tugasnya (duty) dengan benar sesuai standar profesinya.
    Yang harus dilakukan bila Menolak Pasien. 
Jika dokter harus menolak/tidak menangani pasien, dokter perlu menjelaskan alasan penolakan kepada pasien dan memfasilitasi proses rujukan. Masih banyak kondisi-kondisi yang belum diatur oleh hukum di Indonesia.

Meskipun dalam kondisi di atas dokter diperbolehkan untuk tidak menangani pasien, bukan berarti dokter “langsung serta merta” menolak pasien”. Dokter wajib melakukan langkah berikut:

  • Menjelaskan kepada pasien mengenai alasan penolakan.
  • Memfasilitasi pasien agar dirujuk ke dokter/rumah sakit lain yang memiliki kompetensi/fasilitas untuk menangani pasien. Pasien dan keluarga dapat membantu untuk mencari tempat rujukan. Namun, proses merujuk sebaiknya tetap dilakukan dokter agar tidak dianggap menelantarkan pasien.  Dalam UU Rumah Sakit Pasal 41 menyatakan bahwa pemerintah dan asosiasi rumah sakit diwajibkan untuk membentuk jejaring rujukan. Secara tidak langsung, aturan ini menyatakan bahwa rujukan seharusnya diurus oleh pihak rumah sakit menggunakan jejaring yang sudah ada. Meskipun dalam praktiknya, tidak seluruh daerah memiliki jejaring rujukan seperti yang dimaksud UU Rumah Sakit Pasal 41.
Oleh karena itu, dokter sebaiknya tetap menangani seluruh pasien dengan sebaik-baiknya, termasuk pasien yang tidak patuh sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan dan berhati-hati dalam berkomunikasi, sebaiknya berkoordinasi dengan pihak pihak manajemen dan komite medis.
Demikian, semoga bisa dipahami
Dr. dr. Beni Satria, S.Ked., S.H., M.Kes., M.H(Kes)
Sekretaris Prodi Hukum Pascasarjana UNPAB
Dosen Hukum Kesehatan Pascasarjana UNPAB
Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia/MHKI
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x