Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker baik baik dlm bentuk paper maupun elektronik utk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yg berlaku.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Sesuai Permenkes 35/2014,; Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP 51/2009)
Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (“PP Farmasi”) mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.[Pasal 2 ayat (1) PP Farmasi]
Yang dimaksud dengan sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.[Pasal 1 angka 2 PP Farmasi]
Jadi, PP Farmasi ini lebih mengatur kepada pekerjaan dan tenaga kefarmasian yang akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sediaan farmasi, termasuk obat.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 919/Menkes/Per/X/1993 Tahun 1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep (“Permenkes 919/1993”)mengatur secara khusus tentang obat yang tidak perlu menggunakan resep dokter.
Isi dari Pasal 29 PP Farmasi 51/2009 tersebut sebagai berikut:”Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan Peraturan Menteri.”
Pasal 29 PP Farmasi ini mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut dari Pasal 27 PP Farmasi diatur dalam peraturan menteri. Isi Pasal 27 PP Farmasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:“Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.”
Mengenai Pertanyaan Apotik dan Apoteker yg menjual Obat Tanpa Resep Dokter.
Yang telah diatur dalam PP Farmasi adalah bahwa dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[Pasal 24 huruf c PP Farmasi]
Selain itu, penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.[Pasal 21 ayat (2) PP Farmasi]
Sedangkan sebagaimana telah disebutkan di atas, Permenkes 919/1993 mengatur secara khusus tentang obat yang tidak perlu menggunakan resep dokter.
Haruskah Obat Keras Menggunakan Resep?
Mengenai apa yang dimaksud dengan obat keras, berdasarkan Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas yang disusun oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya Asam Mefenamat.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, PP Farmasi mengatur bahwa dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[Pasal 24 huruf c PP Farmasi]
Ini berarti bahwa obat keras tidak bisa dibeli tanpa adanya resep dokter.
Hal ini juga dapat dilihat dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G (“Kepmenkes 2396/1986”). Dalam peraturan ini dapat dilihat bahwa obat keras hanya dapat diberikan dengan resep dokter, yaitu dalam Pasal 2 Kepmenkes 2396/1986:
(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter” yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.
(3) Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blister, strip, aluminium/selofan, vial, ampul, tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah tersebut dikemas dalam bungkus luar.
Kemudian mengenai obat yang dapat diserahkan tanpa resep, dalam Permenkes 919/1993, diatur mengenai obat tersebut harus memenuhi kriteria:[Pasal 2 Permenkes 919/1993]
a.Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b.Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
c.Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d.Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
e.Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Jadi, pada dasarnya untuk dapat membeli obat keras, dibutuhkan resep dari dokter.
Perlu diketahui, tidak hanya obat keras yang memerlukan resep dokter. Prekursor farmasi obat keras juga hanya dapat diberikan atas resep dokter. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi (“Permenkes 3/2015”).
Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.[Pasal 1 angka 3 Permenkes 3/2015]
Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter.[Pasal 22 ayat (3) Permenkes 3/2015]
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :
- Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing – masing dua bulan.
- Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
- Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Selain itu, dalam hal memberikan obat, sebagai pelaku usaha, apoteker salah satunya dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[Pasal 8 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen]
Jika pelaku usaha melanggar kewajiban ini, maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).[Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen]
Demikian jawaban dari saya, semoga bermanfaat.
Beni Satria,M.Kes
Mahasiswa Doktoral (S3)Hukum Kesehatan
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia
Direktur LPKM MHKI SUMUT
Direktur Rumah Sakit
Pengurus Besar IDI (PB IDI)
Pengurus PERSI SUMUT
Anggota TKMKB PROV SUMUT
Sekretaris MKEK IDI SUMUT
NPA IDI : 68818
Dasar Hukum:
1.Permenkes No 35/2014 ttg Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
2.Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian;
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 919/Menkes/Per/X/1993 Tahun 1993 tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi.
5. Undang Undang Perlindungan konsumen No 8/1999
Apa sanksi pidana bagi seorang dokter yang melakukan praktek tanpa ijin dan memberikan obat kepada pasien
Pasal 76 UU Praktik Kedokteran No 29/2004 menjelaskan : “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki Surat Izin Praktik sebagaimana dimaksud pada pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah). Mengenai Seorang dokter memberikan obat kepada pasien adalah merupakan kewenangan seorang dokter, hal ini tertuang dalam Pasal 35 ayat (1) huruf (i) dan (j) UU Praktik Kedokteran No 29/2004 yang berbunyi : “Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat tanda Registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, diantaranya : (i) menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan, (j) meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Apakah apoteker yang menyerahkan obat keras tanpa resep dokter dapat di pidana dengan pasal 196 uu kesehatan tahun 2009