Bagaimana Legalitas STR dan SIP dokter spesialis bedah umum yang telah selesai pendidikan sub spesialis?
Assalmualaikum wrwb
Selamat pagi bang ben semoga di bulan Ramadhan ini kita semua mendapat keberkahan. Saya mau tanya bang, bagi dokter bedah umum yang kemudian mengambil sub spesialis apakah setelah pendidikan sub spesialis nya selesai beliau dapat mempergunakan STR bedah umumnya? Dan apakah STR Bedah Umum nantinya tetap bisa diperpanjang.
Di RS tempat saya bekerja kami mempunyai 2 orang dokter SpB-KBD yang basicnya dari Bedah Umum. Beliau masih mendapat konsulan untuk menangani kasus Ortopaedi dan endokrin seperti Struma yang mana kasus tersebut dapat dikerjakan dokter bedah umum tetapi sudah diluar ranahnya SpB-KBD. Bagaimana dengan Legalitas STR dan SIP Bedah Umum Beliau? Terima kasih
Jawab :
Waalaikumsalam, wr,wb
Terima kasih atas doa dan pertanyaannya.
Kewajiban memiliki STR dan SIP tertera di dalam UU No 29/2014 dan Permenkes 2052/2011,”setiap dokter wajib memiliki STR dan SIP”.
Apakah setelah pendidikan subspesialinya beliau dapat mempergunakan STR bedah umumnya? Bagaimana Legalitas STR dan SIP Bedah Umum beliau?
STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi.
Dalam menjalankan profesinya, setiap dokter diwajibkan kepada aturan profesi. Dalam Pelayanan berdasarkan kewenangan tertera dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, Organisasi Profesi diwajibkan menyusun Standar Profesi. Dalam standar Profesi disebutkan adanya standar pendidikan yang susun kolegium, Standar Kompetensi yang disusun Perhimpunan, Standar Etik atau Kode Etik oleh Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) serta standar pelayanan yang disusun oleh organisasi profesi di sahkan oleh Kementerian Kesehatan.
Terkait dengan pelayanan dokter di klinis, standar kompetensi erat kaitannya dengan apa yang berhak dilakukan oleh dokter. Untuk selanjutnya hal ini bisa disebut kewenangan klinis dimana hal ini mutlak menjadi kewenangan dan tanggungjawab perhimpunan terkait bersama kolegiumnya utnuk membuat aturan yang baku bagaiman acuannya. untuk selanjutnya hal tersebut menjadi dasar dalam peranan profesi untuk menjaga mutu layanan anggotanya.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam standar akreditasi rumah sakit bersi 2012 rumah sakit harus yakin bahwa setiap staff medis yang bekerja diruamh sakitnya, memiliki kualifikasi dan komptensi yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan dalam implementasinya. Direktur Rumah sakit diminta menerbitkan surat penugasan klinik dengan rincian kewennagan klinik bagi setiap staff medis yang bekerja di rumah sakitnya.
Penjelasan UU No 44/2009 tentang rumah Sakit, Pasal 3 huruf b, menyatakan bahwa Tindakan Pembedahan harus diberikan secara profesional dengan mengutamakan keselamatan pasien (patient safety), termasuk asesmen, identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien dalam pelayanan medik spesialistik.
Dikarenakan jumlah dokter spesialis bedah di Indonesia terbatas (Dokter bedah hanya ada di 79,6 % RSU Pemerintah-Riskesdas 2011), maka tindakan bedah dapat dilakukan oleh dokter umum yang telah dibekali kompetensi tambahan atau dokter spesialis bedah umum. Untuk maksud tersebut dan demi keselamatan pasien, diperlukan pengaturan kewenangan tindakan medik secara bijak antara Direktur, Komite Medik, dan para Dokter Spesialis Bedah yang memberikan pelayanan pembedahan di lingkungan kerja tsb.
STR yang digunakan oleh dokter Subspesialis untuk melakukan Praktik adalah STR Dokter Spesialis. Kewenangan Klinis Praktik sebagai Dokter subspesialis di rumah Skait diberikan oleh Komite Medik Rumah Sakit berdasarkan sertifikat yang diberikan Kolegium pengampu cabang ilmu terkait (Lihat Perkonsil No 8/2012 Pasal 17 )
Direktur melalui komite medis dapat mengatur pemberian kewenangan klinik (clinical privilage) dalam bentuk surat penugasan klinik dan rincian kewenangan klinik bagi setiap staf medis di rumah sakit masing-masing, yang sudah barang tentu akan sangat berdampak positif pada mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien.
IKABI telah menerbitkan Buku Kewenangan Tindakan Medis Dokter Spesilis Bedah Indonesia 2013 yang selain menjabarkan pembagian kewenangan dan tanggungjawab, memberikan kewenangan kepada dokter umum dan dokter bedah umum, terlebih telah menunjukkan kearifan dalam memahami kesejawatan dan pembinaan keprofesian.
Dalam Buku Kewenagan tindakan Medik Dokter spesialis Bedah Indonesia dinyatakan tidak mengurangi hak Direktur Rumah Sakit untuk memberikan penugasan klinis yang melebihi maupun mengurangi dari daftar yang ada kepada staf medis rumah sakit, tergantung situasi yang dihadapi rumah sakit dalam pengadaan SDM Medis, termasuk pemberian kewenangan klinis tindakan pembedahan kepada dokter spesialis Bedah umum atau dokter umum yang telah dilatih dan diberi kompetensi tambahan (setelah melalui konsultasi dan koordinasi dengan Komite Medis Rumah Sakit)
Sesuai Pernyataan Kesepakatan IKABI dan 10 OPLB (Organisasi Profesi dalam Lingkungan Bedah) Nomor : 50/PP-IKABI/XI/2012 tertanggal 27 Oktober 2012 dinyatakan kesepakatan :
- Perlu ditegakkan ketertiban dan disiplin dalam menjalankan pelayanan kesehatan disetiap tempat pelayanan kesehatan (rumah Sakit, klinik, poIiklinik ) berdasarkan kompetensi yang dipunyai oleh masing-masing Dokter Spesialis Bedah sesuai dengan yang digariskan oleh organisasi profesi bedah yang terkait beserta kolegiumnya dalam bentuk clinical privilege (Kewenangan tindak medik sesuai kompetensi dokter spesialis bedah) yang dipertimbangkan/diterbitkan oleh komite medik masing-masing Rumah Sakit.
- Clinical previlege yang dimaksud dipakai sebagai pedoman pelaksanaan clinical appointment oleh masing – masing Direktur Rumah Sakit diseluruh Indonesia yang sesuai dengan SDM dan sarana – prasarana yang tersedia untuk kepentingan, keselamatan dan keamanan penderita.
- Setiap Dokter Spesialis Bedah yang bekerja di suatu RS harus taat dan mendukung penuh dalam memajukan pelayanan kesehatan di RS yang terkait dengan membuat komitmen berupa pemyataan kesediaan dan kesanggupan secara tertulis untuk melayani penderita sesuai daftar penyakit/kasus yang disepakati bersama dengan direktur RS dalam bentuk clinical appointment dan tidak menyimpang dari daftar kewenangan yang telah dibuat oleh masing-masing anak organisasi bedah (OPLB) didalam Federasi IKABI, bisa lebih banyak atau bahkan mungkin lebih sedikit dari jumlah dan jenis kasus yang ditetapkan oleh OPLB-OPLB .
- Setiap Direktur RS menilai outcome / kinerja Dokter Spesialis Bedah yang bekerja di dalam RS tsb. dan mengambil langkah2 kebijakan sesuai performance yang ditunjukkan dokter yang terkait ( menegur atau bahkan melarang melakukan suatu tindakan medis tertentu apabila terjadi penyimpangan dari standar pelayanan yang berlaku atau menyebabkan terjadinya kerugian/ kecelakaan penderita.
- Dalam menerapkan clinical appointment masing-masing disiplin ilmu bedah, para Dokter Spesialis Bedah dihadapkan dengan adanya kasus tumpang tindih baik interen ( didalam profesi bedah sendiri) maupun eksteren (dengan disiplin ilmu kedokteran yang lain). Tumpang tindih kasus bedah tidak bisa kita hindari, namun kita harus menghargai dan menghormati bersama termasuk tidak dibenarkan saling melarang atau meng-klaim. Setiap tindakan bedah sehamsnya di dasari kompetensi yang telah ditetapkan oleh masing2 organisasi profesi kedokteran yang terkait.
- Dalam menghadapi kasus tumpang tindih diharapkan ada pengaturan yang tepat dan bijak dari Direktur RS misalnya dengan membangun kerjasama antar profesi dalam 1 unit kerja ( panitia ad hoc ) atau pengaturan kerja berdasarkan waktu setiap hari atau setiap minggu bergantian dalam menangani kasus-kasus yang sama tetapi berbeda profesinya atau mengadakan diskusi kasus yang sama diantara para dokter yang terkait berdasarkan modul pembelajaran dan pencapaiannya seharusnya sama, dimana modul – modul tersebut telah diterbitkan oleh masingmasing Kolegium Ilmu Bedah.
- Selain penanganan kasus tumpang tindih, pengaturan clinical privilege oleh Komite Medik dan ciinical appointment oleh Direktur Rumah Sakit juga akan berdampak pada pemerataan jasa pelayanan medis yang telah ditetapkan berdasarkan pengaturan atau ketentuan BPJS secara adil dan proporsional
- Kami mendukung sepenuhnya Program Pemerintah C/Q Kemenkes RI antara lain menyukseskan pelaksanaan BPJS 2014 dan MRA 2015 serta program-program yang lain.
- Apabila terjadi permasalahan sebagai akibat diterapkannya clinical previlege & clinical appointment, kami organisasi profesi kedokteran IKABI beserta 10 OPLB bersedia turut menyelesaikan sesegera mungkin setclah mendapat laporan dari Direktur RS yang terkait, atau laporan dari pihak lainnya
- Penyataan kesepakatan ini disertai lampiran daftar kompetensi dari 10 OPLB dan diharapkan dapat mendukung serta mempercepat akselerasi tercapainya masyarakat Indonesia sehat dan sejahtera serta menjaga mutu pelayanan kesehatan.
Apabila terjadi suatu kejadian akibat tindakan dokter, merupakan tanggungjawab dokter yang bersangkutan dan Direktur Rumah sakit
Demikian, semoga dapat dipahami bersama.
dr. Beni Satria,M.Kes
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia
Mahasiswa Doktoral (S3) Hukum Kesehatan
Direktur Rumah Sakit
Direktur LPKM MHKI SUMUT
Pengurus Besar IDI (PB IDI)
Pengurus PERSI SUMUT
Anggota TKMKB PROV SUMUT
Sekretaris MKEK IDI SUMUT
NPA IDI : 68818