Apa yg hrs kk lakukan
Andaikan ada TS qt (sbg Kapus) menyarankan anggotanya (bidan) utk melakukan kuret di desa. Sedangkan qt sendiri mengetahui kalau melakukan itu salah krn bukan profesi qt sbg dokter umum maupun bidan utk mengerjakan kuret. Pd hal RS gk jauh dan Sp.OG nya jg ada
Dia bilang krn lbh baik uang nya utk temannya sama bidan desa.
Jawab :
Terima kasih atas pertanyaannya.
Meminta Bidan untuk mengerjakan Kuret dan Bukan Kompetensi dokter umum maupun bidan untuk mengerjakan kuret, padahal Rumah Sakit Tidak Jauh dan ada dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG).
Mengenai Tindakan Kuretase (Kuret) oleh dokter umum memang bukanlah kompetensi dokter umum lagi, hal ini telah dijelaskan dalam KMK No 514/2015 ttg PPK bagi dokter di FKTP bahwa Kasus Abortus Inkomplit dan Abortus Insipien termasuk dalam kompetensi dokter 3B (artinya: Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan).
Namun dalam hal tidak adanya tenaga medis ahli di daerah tersebut, dokter umum boleh melakukan tindakan kuretase, hal ini dijelaskan dalam Pasal 51 huruf (d) “ Dalam melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas mampu melakukannya”.
Mengenai Bidan Melakukan Tindakan Kuretase
Sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya (lihat Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan).
Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan “kewenangan berdasarkan kompetensi” adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya, antara lain untuk bidan adalah ia memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu berwenang untuk: (Pasal 10 ayat 3 Permenkes 1464/2010):
a. episiotomi;
b. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
c. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
d. pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
e. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
f. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;
g. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
Jika bidan tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan, ia dikenai sanksi administratif. Ketentuan sanksi ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan.
Akan tetapi, apabila ternyata tindakan kuretase itu merupakan suatu kelalaian berat yang menyebabkan penerima pelayanan kesehatan (pasien) menderita luka berat, maka bidan yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jika kelalaian berat itu mengakibatkan kematian, bidan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun (lihat Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan).
Melihat pada ketentuan di atas, sehubungan dengan tindakan kuretase oleh bidan, dapat dilihat bahwa sanksi pidana akan diberikan kepada bidan jika tindakan yang dilakukannya kepada pasien merupakan suatu kelalaian berat yang mengakibatkan luka berat atau kematian kepada pasien.
Pidana lain yang dapat dikenakan oleh bidan adalah jika bidan tersebut melakukan praktik padahal ia tidak memiliki izin untuk itu (lihat Pasal 85 dan Pasal 86 UU Tenaga Kesehatan).
Tenaga kesehatan (bidan dan perawat) dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya juga diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan:“Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.”
Dalam penjelasan Pasal 63 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan dikatakan bahwa yang dimaksud “keadaan tertentu” yakni suatu kondisi tidak adanya tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan serta tidak dimungkinkan untuk dirujuk.
Mengenai Bidan diminta untuk mengerjakan tindakan kuretase oleh dokter, tenaga kesehatan (Bidan) dapat menerima pelimpahan Tindakan, dan yang bertanggungjawab adalah pemberi limpahan.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3) huruf (.c) yang berbunyi :
(1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis,
(3) huruf (.c) Pemberi pelimpahan tetap bertanggungjawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan”, dalam hal ini sanksi pidana dapat juga diberlakukan kepada dokter yang meminta bidan utk melakukan tindakan kuretase
Mengenai apa yang harus dokter lakukan?
Sesama dokter sebagai sejawat sebenarnya saling diperlakukan sama oleh teman sejawatnya (GOLDEN RULE). Konteks Kesejawatan dalam hal ini adalah kesetaraan hubungan antar sejawat, tidak ada salah satu yang diduga berperilaku menyimpang. Makna berikutnya adalah agar seorang dokter menahan diri untuk tidak membuat Sulit, Bingung, Kecewa/Marah. Apabila dokter khawatir sejawat tersebut akan marah/kecewa karena diingtakanm dokter bisa dan mempunyai hak untuk melaporkan kepada BHP2A dana tau MKEK IDI Cabang setempat.
Tugas pembinaan anggota dalam menjalankan Profesi adalah kewenangan BHP2A dana tau MKEK. Sesuai AD/Art IDI Pasal 29 ayat (3) tentang tugas dan wewenang BHP2A berbunyi “melakukan pembinaan dan pembelaan anggota dalam menjalankan profesinya”. Dalam hlm 46 (AD/ART IDI) mengenai tugas dan kewenangan MKEK berbunyi (a) Melakukan tugas pembinaan, pengawasan, dan penilaian dalam pelaksanaan etik kedokteran secara otonom, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran. Mengenai sanksi dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1, 2 dan 3) berupa teguran tertulis hingga pencabutan SIP dan Pemberhentian Anggota.
Demikian, semoga dapat dipahami bersama.
dr. Beni Satria,M.Kes
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia
Mahasiswa Doktoral (S3) Hukum Kesehatan
Direktur Rumah Sakit
Direktur LPKM MHKI SUMUT
Pengurus Besar IDI (PB IDI)
Pengurus PERSI SUMUT
Anggota TKMKB PROV SUMUT
Sekretaris MKEK IDI SUMUT
NPA IDI : 68818