Assalamualaikum ben. Ada pertanyaan di Grup kami, Bagaimana Jika dokter Spesialis yang Notabene menangani Pasien dewasa (Spesialis Penyakit Dalam) tetapi juga menangani Pasien Anak? (Dipandang dari Perspektif Hukum Kesehatan)

Jawab :

Terima kasih atas pertanyaannya

Profesi kedokteran dan kedokteran gigi merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena tugas utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter dan dokter gigi, selain terikat oleh norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma disiplin kedokteran, yang bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan keluhuran profesinya.

Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi.

Sebagian dari aturan-aturan dan ketentuan tersebut, terdapat di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar di dalam peraturan perundang-undangan, pedoman atau ketentuan lain.

Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional serta ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 37, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 45-49, dan Pasal 51 sebagai aturan/ ketentuan yang harus dipatuhi dokter dan dokter gigi.

Sementara itu, aturan dan ketentuan lain yang harus dipatuhi oleh dokter dan dokter gigi, juga ditemukan dalam berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode Etik Profesi dan juga dalam kebiasaan umum (common practice) di bidang kedokteran dan kedokteran gigi.

Pada jaman modern seperti saat ini yang ditandai oleh spesialisasi dan keseminatan kedokteran atau kelompok kesejawatan lainnya, nilai- nilai etika profesi akan senantiasa mewarnai ciri dan cara pelayanan pasien, klien atau masyarakat setempat atau pun manusia sejagat, dengan dimensi meningkatkan hubungan dokter-pasien juga dalam  format hubungan saling kerjasama.

Nilai etika yang berdimensi  “apa yang seyogyanya“,  apalagi  jenis  yang melambangkan  keluhuran profesi, senantiasa akan menjadi pencerah dan pembingkai “apa yang senyatanya” dari dimensi teleologik penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian  dalam setiap penyempurnaan norma etika secara tertulis,  baik  idealisme  teoritis  maupun  penerapannya  akan mempertimbangkan kaidah-kaidah dasar moral ataupun prinsip/kaidah dasar  bioetika, antara  lain seperti berbuat baik  (bene_cence),  tidak merugikan  (non male_cence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan berlaku adil (justice).

Mengenai dokter spesialis yang notabene menangani pasien dewasa tetapi juga menangani pasien anak.

Anak adalah anak, yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang khas, berbeda dari orang dewasa. Menurut UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak punya beberapa hak dan kewajiban, tertulis dalam Bab III. Coba kita cermati beberapa hak anak: hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai harkat dan martabat kemanusiaan; mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi; menyatakan dan didengar pendapatnya; beristirahat, bergaul, dan berkreasi; dan untuk semua hak anak selalu ditambahkan ‘sesuai usia’ atau ‘sesuai kondisinya’ (minat dan bakat, kecerdasan, atau kebutuhan lain).

Walau sering berhasil “menyembuhkan” pasien, seorang dokter tidak boleh takabur, sombong dan kemudian memuji diri sendiri, karena yang menyembuhkan sesungguhnya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Ia harus sadar bahwa  pengetahuan, ketrampilan profesi dan hasil pengobatan terhadap pasiennya  adalah karena karunia, kemurahan dan ridhoNya semata yang pada suatu saat pasti berakhir. Dalam sistem kedokteran modern hasil pengobatan ditentukan oleh banyak faktor. Pelayanan kedokteran merupakan sistem kompleks yang saling bergantung antara pelbagai komponen pemberi pelayanan

Pasal 3 KODEKI 2012, Kemandirian Profesi. Menjelaskan Setiap  dokter  dilarang  melakukan  perbuatan  yang  dapat mengakibatkan  hilangnya  kebebasan dan  kemandirian profesi berupa melakukan upaya diagnostik, pengobatan atau tindakan medis apapun pada pasien secara menyimpang dari atau tanpa indikasi medik yang mengakibatkan turunnya martabat profesi kedokteran dan  kemungkinan  terganggunya  keselamatan  pasien.

Pasal 4 KODEKI 2012, Memuji Diri. Setiap dokter dilarang melakukan Perbuatan yang dilarang karena bersifat memuji diri sebagaimana dimaksud Pasal 4 cakupan Pasal (2) butir (b) KODEKI 2012 yaitu : Masyarakat dan khususnya pasien jangan dibuat bingung oleh penamaan  atau  sebutan  dokter,  karena  kompetensi  dan kewenangan melakukan praktik kedokteran sudah memadai dengan gelar dokter dan spesialisasi yang dimilikinya, sesuai ketentuan  perundang-undangan.

Pasal 7 KODEKI 2012, Kewajiban memberikan Keterangan dan Pendapat yang valid, pada butir (6) Menjelaskan: Seorang dokter wajib melakukan konsultasi atau melakukan rujukan ke sejawatnya yang mempunyai kompetensi untuk memberikan keterangan yang lebih bermutu apabila kasus yang dihadapi di luar kompetensinya.

Pasal 8 KODEKI 2012, Profesionalisme. Bahwa Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Pada penjelasan butir (1) menjelaskan : Seorang dokter yang akan menjalankan praktek wajib memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku sebagai prasyarat  sekaligus  kesinambungan  profesionalisme.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia, Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill dan attitude), dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Butir (6) BAB III Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran Kepkonsil No 17 Tahun 2006 menjelaskan : Apabila seorang “ Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien. Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk Pelanggaran Disiplin.

Maka sesuai dengan penjelasan diatas, sebagai dokter yang mengetahui perilaku dokter spesialis yang notabene menangani pasien dewasa tetapi juga menangani pasien anak, diluar kompetensi dan kewenangannya diduga melanggar ketentuan perundang-undangan dan etik kedokteran maka Kewajiban sebagai teman sejawat sesuai dengan Pasal 9 KODEKI 2012, penjelasan butir (6) yaitu : berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi.

Namun Apabila seorang dokter telah mengingatkan rekan sejawat yang melakukan pelanggaran  tetapi tidak ada perubahan, maka dapat menyampaikan  laporan  kepada  pihak  yang  berwenang, yaitu Tergantung tempat bekerja sejawat tersebut, dapat ke Komite Medik, MKEK, Dewan Etik perhimpunan spesialis atau seminat atau melalui IDI setempat.

Etika kedokteran diwarnai oleh etika kewajiban yang mengedepankan adanya panggilan nurani menolong pasien sebagai manusia yang tengah menderita sebagai kewajiban tertinggi dokter sebagai pengabdi profesi. Pasien merupakan pribadi unik yang menjadi tujuan bagi hidupnya sendiri, bukan sebagai obyek untuk di intervensi dokter atau tenaga kesehatan lainnya.  Penghormatan  hak-hak  pasien  dan  teman  sejawat  yang merupakan bagian dari kewajiban dokter akan menjaga kepercayaan pasien, agar dapat mempercepat kesembuhannya.

Para dokter Indonesia selayaknya menjadi model panutan bagi masyarakatnya. Dokter Indonesia seyogyanya memiliki keseluruhan kualitas dasariah manusia baik dan bijaksana, yaitu sifat Ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan dan cinta Indonesia. Dari pancaran kualitas dasariah tersebut pengamalan nilai- nilai  etik  oleh siapapun dokternya, akan menjadi  cahaya penerang peradaban budaya profesi di tanah air tercinta Indonesia, pada situasi dan kondisi apapun, dimanapun berada dan sampai kapan pun nanti.

Demikian, semoga dapat dipahami

Beni Satria, M.Kes

Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia

Direktur LPKM MHKI SUMUT

Direktur Rumah Sakit Sarah

Pengurus PERSI SUMUT

Pengurus ARSSI SUMUT

Pengurus PB IDI JAKARTA

Anggota TKMKB SUMUT

Sekretaris MKEK IDI SUMUT

Mahasiswa Doktoral (S3) Hukum Kesehatan

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x