Bolehkan sesama dokter memberitahu tentang penyakit pasien agar lebih waspada?
Hai, boleh konsul hukum kedokteran?
Untuk kerahasiaan pasien, mis; kita atau itu pasien TB or HIV, pasien berobat ke drg, sbg dr/Petugas kesehatan, boleh kah kita beritahu drg tersebut? Supaya bisa lebih waspada? Dan sebagai teman sejawat mengingatkan teman?
Jawab :
Hai juga., boleh, semoga bisa membantu
Tentang Rahasia kedokteran telah diatur dalam Permenkes No 36/2012. Disebutkan : Rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya.
Dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Pradok) menegaskan bahwa, “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran; Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.”
Sedangkan Pasal 51 huruf (c) UU Pradok No 29/2004 menyatakan bahwa “dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban-kewajiban: merahasiakan segala sesuatu yang telah diketahuinya tentang si pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia“
Pada Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya disebut UU Kesehatan) menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak merahasiakan kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan; dan segala hal mengenai hak-hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi tidak berlaku apabila: Perintah undang-undang, Perintah pengadilan, Izin yang bersangkutan, Kepentingan masyarakat, atau Kepentingan orang tersebut“.
Apakah rahasia kedokteran itu boleh dibuka?
Terkait dengan hal ini ada dua pendapat yang saling bertentangan yaitu pendirian absolut dan pendirian nisbi.
Bagi mereka yang menganut pendirian yang absolut maka rahasia kedokteran ini akan disimpan dan dirahasiakan selamanya tanpa pengecualian.
Bagi penganut pendirian absolut ini sangat kaku dan juga tidak memahami bahwa tujuan rahasia kedokteran itu adalah untuk menyehatkan masyarakat sehingga dengan alasan-alasan tertentu boleh dibuka.
Beda dengan penganut pendirian nisbi yang akan selalu mempertimbangkan kepentingan umum yang lebih utama yang harus diperhatikan daripada kepentingan pasien.
Memang harus diakui bahwa dokter yang menganut pendirian nisbi akan mengalami kesulitan dan juga pertentangan dalam batinnya jika mengambil keputusan untuk membuka atau menyimpan rahasia kedokteran yang menimbulkan dilema ini.
Ada beberapa keadaan yang dapat dijadikan alasan rahasia kedokteran tersebut dibuka. (lihat Permenkes 36/2012 ttg Rahasia Kedokteran)
Beberapa ahli telah mencoba menggolongkan beberapa keadaan dimana dokter dapat membuka rahasia kedokteran menjadi dua golongan: Dengan kerelaan atau pun izin pasien.
Pasien dianggap telah menyatakan secara tidak langsung bahwa rahasia kedokteran itupun bukan lagi merupakan rahasia, sehingga tidak wajib dirahasiakan lagi;
Pembukaan rahasia tanpa izin si pasien.
Dalam hal ini dokter terpaksa membuka rahasia kedokteran karena adanya dasar penghapusan pidana (strafuitsluitingsgroden) yang diatur dalam Pasal 48 KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 KUHP
Dari bunyi tiga pasal dalam KUHP sebagaimana di atas itu dapat kita ketahui bahwa wajib simpan rahasia kedokteran dikecualikan dalam keadaan daya paksa, melaksanakan ketentuan undang-undang dan melaksanakan perintah jabatan.
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga diatur dalam Pasal 48 ayat (2) UU Pradok dan Pasal 57 ayat (2) UU Kedokteran (lihat juga Permenkes 36/2012)
Dari pembahasan di atas maka diketahui bahwa alasan yang dapat dipergunakan oleh dokter untuk dapat membuka rahasia kedokteran adalah sebagai berikut:
Pertama,
Adanya izin dari pasiennya. Rahasia kedokteran ini merupakan hak dan milik pasien, jadi hanya pasien tersebut yang berhak memutuskan apakah orang lain boleh mengetahui kondisinya atau tidak. Contoh kasus: Seorang pasien yang tidak masuk kerja karena sakit lalu minta surat keterangan sakit untuk dilaporkan pada tempatnya bekerja.
Kedua,
Adanya pengaruh daya paksa. Daya paksa disini bersifat relatif, yang terjadinya karena kondisi darurat. Jika kondisi ini tidak ada maka keadaan daya paksa tersebut juga tidak ada. Contoh kasus: Seorang sopir menderita epilepsi. Dokter terpaksa membuka rahasia penyakit itu pada sang majikan sopir tersebut.
Ketiga,
Adanya peraturan perundang-undangan. Secara formil justifikasinya karena terdapat pada perundang-undangan dan secara materiil juga sudah dipertimbangkan oleh undang-undang bahwa ada kepentingan yang lebih besar. Contoh kasus: Seorang dokter yang diminta membuat Visum et Repertum.
Keempat,
Adanya perintah jabatan. Contoh kasus untuk menjelaskan kondisi ini adalah seorang dokter penguji kesehatan yang diharuskan melaporkan hasil kesehatan pasien yang diperiksanya kepada institusi yang meminta dan hal ini tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien tersebut.
Kelima,
Demi kepentingan umum. Disini rahasia kedokteran terpaksa dibuka karena ada kepentingan yang lebih diutamakan, yaitu masyarakat umum. Contoh kasus: Dokter melaporkan pasiennya seorang penjahat yang mendapat luka-luka.
Alexandra Indriyanti menyebutkan beberapa hal yang merupakan pengecualian wajib simpan rahasia kedokteran, yaitu: Syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja, misalnya kepada suami atau istri, mantan suami atau istri, pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut; dan keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan; serta keterbatasan persyaratan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara medis, informasi tersebut layak dibuka.
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran berlaku pada kondisi-kondisi darurat seperti wabah dan bencana alam, seorang dokter atau pun petugas kesehatan itu tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang semestinya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah. Undang-undang ini mewajibkan dokter atau tenaga kesehatan untuk segera melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya sehingga segera bisa ditanggulangi (Ari Yunanto dan Helmi, 2010:56).
Sampai saat ini ada 4 (empat) jabatan yang diwajibkan menyimpan rahasia, yaitu pemuka agama atau rohaniwan, dokter, advokat, dan notaris. Dokter dipandang sebagai pemegang rahasia yang utama dan tidak perlu lagi dipersoalkan.
Mengakhiri pembahasan tentang wajib simpan rahasia kedokteran versus kewajiban hukum sebagai saksi ahli ini maka penulis akan melengkapi dengan satu ilustrasi kasus sebagaimana di bawah ini.
Seorang dokter mempunyai pasien penderita TB & HIV/AIDS. Pasien tersebut meminta dengan sangat agar dokter merahasiakan hal itu jangan sampai orang lain mengetahuinya, keluarganya sekalipun. Jelas sekali bahwa dalam kasus ini dokter berada pada posisi yang sulit dan dilematis. Penyakit HIV/AIDS berbahaya dan dapat menular sementara pasien tidak setuju jika rahasia tersebut dibuka.
Saat ini di negara kita peraturan hukum tentang HIV/AIDS belum dibuat dalam suatu perundang-undangan yang khusus.
Ketentuan yang ada hanya berpedoman pada Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor 72/Menkes/Instll/1988 tentang Kewajiban Melaporkan Penderita dengan Gejala-gejala AIDS. Ketentuan tersebut hanya ditujukan kepada petugas kesehatan dan juga sarana pelayanan kesehatan saja. Adapun tindakan yang diambil hanyalah pelaporan kepada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman dengan memperhatikan kerahasiaan pribadi; dan Surat Keputusan Menko Kesra Nomor 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS.
Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/ AIDS diharuskan didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan. Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib untuk dirahasiakan.
Menyikapi kasus-kasus sebagaimana digambarkan di atas itu, maka pilihan mana yang harus diambil. Apakah kita harus mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) dari si penderita HIV/ AIDS tersebut yaitu dengan mengorbankan kesehatan masyarakat yang seharusnya juga dilindungi, dan bagaimana dengan istri atau suami dan anak-anak penderita jika mereka tertular.
Dalam hal ini memang terdapat benturan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat. Tentunya yang harus dijadikan pertimbangan adalah kepentingan mana yang lebih utama.
Selain itu juga harus dipahami bahwa HAM tidaklah bersifat absolut karena dalam kehidupan bermasyarakat hak asasi seseorang juga merupakan hak asasi orang lain di dalam masyarakat tersebut.
Jalan terbaik adalah dokter secara persuasif berupaya agar pasien bersedia untuk dibuka rahasia tentang penyakitnya dengan memberikan penjelasan bahwa hal tersebut demi kepentingan umum sehingga pasien tersebut harus mengalah.
Jika pasien tersebut tetap bertahan bahwa rahasia akan penyakitnya tidak boleh disebarluaskan, maka hal itu bisa berdampak meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS. Hal yang pasti tidak kita harapkan.
Terakhir menjawab pertanyaan dokter, bolehkah kita beritahu drg tsb supaya berhati-hati, dan kewajiban mengingat sebagai teman sejawat.
Maka saya sependapat dengan pendapat Alexandra Indriyanti menyebutkan beberapa hal yang merupakan pengecualian wajib simpan rahasia kedokteran, yaitu: Syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja, misalnya kepada suami atau istri, mantan suami atau istri, pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut; dan keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan; serta keterbatasan persyaratan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara medis, informasi tersebut layak dibuka.
Demikian, semoga dapat dipahami bersama
dr. Beni Satria,M.Kes
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia
Mahasiswa Doktoral (S3) Hukum Kesehatan
Direktur Rumah Sakit
Direktur LPKM MHKI SUMUT
Pengurus Besar IDI (PB IDI)
Pengurus PERSI SUMUT
Anggota TKMKB PROV SUMUT
Sekretaris MKEK IDI SUMUT
NPA IDI : 68818